Kebakaran Hutan dan Lahan, Sumbangsih Korporasi Kapitalis

Oleh : Mia Annisa (Pemerhati Masalah Lingkungan dan Sosial)

Sejauh ini kebakaran hutan dan lahan hanya sebatas dipahami sebagai bencana tahunan yang kerap terjadi setelah musim hujan berhenti. Maka kebakaran hutan dan lahan dipandang sesuatu yang wajar sehingga pola penyelesaian yang digunakan tidak menyentuh hingga ke akarnya.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi permasalahan serius yang tak pernah rampung untuk diselesaikan. Terbukti dari sebaran banyaknya titik api sebagian besar berada di wilayah Sumatera yaitu Aceh dan Riau. Dijelaskan oleh Staf data dan informasi BMKG Stasiun Klimatologi Aceh Besar, Harisa Bilhaqqi, bahwa “Titik panas itu terpantau melalui data satelit NOAA pada Sabtu (5/1/2019). Totalnya terdapat 16 titik panas di wilayah Sumatera, dan 10 titik panas di antaranya tersebar di 8 kabupaten di Aceh,”

Kebakaran hutan di Indonesia sudah masuk pada tahap yang mengkhawatirkan. Untuk di Riau saja sudah ada 1.136 hutan lahan di Riau di lalap si jago merah sejak Januari sampai Februari 2019. (www.tribunnews.com) Kondisi ini diperparah manakala teknis pemadaman api hanya menggunakan alat seadanya dengan memanfaatkan benda-benda yang ada, yaitu air dan api. Tentu sangat tidak sepadan dengan besaran api yang melahap kawasan hutan dan lahan.

Asap hasil dari bakaran lahan dan hutan pastinya juga memberikan dampak yang sangat signifikan menghambat jalannya roda perekonomian dan mengancam kesehatan masyarakat dan eksistensi kehidupan tumbuhan dan hewan yang seharusnya menjadi rumah bagi flora dan fauna.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan epidemi bencana yang tak bisa dilepaskan dari jerat para raksasa korporasi dunia saat ini. Tidak heran jika penegakan hukum yang berjalan hanya menyasar lapisan-lapisan bawah (personal), pelaku pembakar lahan saja belum sampai menyentuh pada level tertinggi struktur korporasi (pemilik lahan) itu sendiri. Alias mandulnya hukum negara karena melihat kekuatan korporasi dibalik kebakaran hutan dan lahan. Penegakan hukum terhadap korporasi bisa dilakukan apabila negara memiliki keberanian untuk bertindak tegas.

Mandulnya peran pemerintah juga terlihat dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan hanya sebatas mengawasi dan menegur saja. Sesuai apa yang disampaikan menteri Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Tentu tidak akan membuat para korporasi jera dan mau mempertanggungjawabkan kejahatannya selama penegakan hukumnya melempem.

Fakta dari hasil temuan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sebagian besar titik panas berada pada konsesi korporasi. (www.tirto.id) Ini membuktikan kebakaran hutan dan lahan terbakar secara sengaja bukan juga semata-mata karena dipicu oleh gejala El Nino yang kering.

Disisi lain bagaimana kerasnya perlawanan korporasi yang kebal pidana dengan melakukan penghadangan petugas pemerintahan di lapangan seperti pernah dilakukan oleh PT. Riang Lestari di Riau. Para korporasi tetap bisa mengajukan kasasi di peradilan jika vonis yang dijatuhkan dirasa memberatkan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya dari kasus kebakaran hutan dan lahan ada 12 korporasi yang dijadikan sebagai tersangka namun hanya 3 yang berhasil masuk meja hijau. Selebihnya kasus menguap begitu saja.

Kesimpulannya kasus kebakaran hutan dan lahan tidak bisa diharapkan penyelesaian selama masih bertumpu pada sistem kapitalis yang tetap mendukung eksistensi para korporasi berdiri kokoh. Kapitalis, sistem yang dibackup oleh kekuatan para konglomerasi akan melemahkan fungsi negara sebab kebijakan-kebijakan yang disusun berdasarkan pengaruh pemilik modal.

Sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Maliki, penulis kitab Al-Muntaqa Syarah al-Muwatta`, menjelaskan sebagai berikut. “Dilarang menyalakan tungku dan membuat kamar mandi yang asap (dan baunya) bisa mengganggu dan membahayakan tetangga secara permanen. Melakukan aktivitas pembakaran, yang mana asapnya bisa mengganggu dan membahayakan para tetangga, merupakan aktivitas terlarang meskipun membawa maslahat untuk segelintir orang”.

Tidak dibenarkan dalam Islam menyalakan tungku dan membuat asap dan baunya mengganggu orang lain. Apalagi menyalakan api dalam skala yang lebih besar, membakar hutan dan lahan sekalipun dalam rangka hendak meraih kemaslahatan, seperti terciptanya lapangan pekerjaan dan nilai ekonomis-ekonomis lainnya. Menjaga kesehatan masyarakat jauh lebih penting.

Pada prinsipnya segala sesuatu yang bersifat merusak negara diwajibkan memberikan sanksi tegas berupa menjatuhkan takzir bagi para pelaku pembakaran liar. Menutup paksa dengan tidak mengeluarkan izin operasional korporasi di dalamnya secara total. Menghukum para pelaku-pelaku baik pemilik dan divisi struktural dengan mengganti rugi biaya kerugian lahan dan biaya kesehatan masyatakat. Serta memenjarakan pelakunya bila perlu.

Tentu saja sanksi hukum yang tegas didukung oleh payung sistem yang ideal. Sistem yang ideal akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dari daun hingga ke akarnya. Dan negara memiliki power yang penuh tanpa harus terpengaruh oleh kekuatan uang.

Leave a comment