Hukum yang Tertukar

Oleh: Mia Annisa

Tajam ke bawah tumpul ke atas. Ada benarnya ungkapan ini pantas disematkan pada penegakan hukum di Indonesia yang terkesan tebang pilih, juga terkadang terkesan lambat dan tenggelam tanpa penyelesaian.

Baiq Nuril (37) mantan guru honorer di Mataram, diantara sekian banyak warga yang menanti keadilan hukum secepatnya. Pengajuan PK Baiq Nuril Maknun, terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Baiq Nuril yang merekam pelecehan seksual yang dilakukan atasannya melalui pembicaraan telephone, itu tetap mendekam di penjara selama 6 bulan beserta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.

Niat hati Baiq Nuril mencari keadilan tapi malah menjadi pesakitan. Sementara pelaku pelecehan bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa dikenai hukuman sedikitpun. Kasus Baiq Nuril seperti noktah hitam, bahwa mencari keadilan di negeri yang konon menjunjung nilai-nilai paling demokratis mahal harganya dan beresiko tinggi.

Kontras sekali apabila kasus-kasus hukum menjerat kalangan elite politik dan para konglomerat pasti bebas dari pertanggungjawaban hukum meskipun telah melanggar aturan. Mereka pemilik kekuasaan dapat membeli hukum, maka aparat penegak hukum yang tidak amanah, silau dunia, harta dan jabatan saling kongkalikong dalam melakukan penegakkan hukum. Sehingga lahirlah para makelar kasus atau cungkil yang mau disuap demi asas simbiosis mutualisme.

Wajar jika dalam sistem Kapitalisme hukum tidak saja dijalankan sebagai sebuah aturan, tetapi bisa diperjualbelikan ibarat barang dagangan bagi yang berkantong tebal. Hukum tidak berlaku bagi sekutu-sekutunya, partai pendukung, koalisi partai yang mendukung atau simpatisan yang memiliki keistimewaan karena pengaruh kedudukan atau uang yang dimilikinya. (https://www.kompasiana.com/)

Sementara, bagi rakyat kecil, lawan politik, ulama, pendakwah, partai Islam dan kritikus, maka hukum menjadi senjata pemusnah menekan yang lemah dan melanggengkan kekuasaan. Tak heran terdakwa yang lemah dibuat tak berkutik atau lebih memilih jalan damai mengingat panjangnya proses hukum dalam demokrasi yang menguras tenaga, pikiran serta finasial.

Mustahil berharap demokrasi memberikan kepastian hukum, tatkala semua urusan pengaturan kehidupan diserahkan pada timbangan manusia yang terjadi serba multi tafsir, saling bertengangan dan mengakibatkan kerusakan.

Lain halnya dengan Islam satu-satunya aturan yang memiliki standar hukum yang jelas dan baku. Islam memandang jika keadilan apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah, baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya.

Apabila diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat, menciptakan cara pandang dan cara perlakuan yang sama terhadap individu-individu masyarakat akan diperlakukan secara sama tanpa ada diskriminasi dan tanpa pengurangan atau pengunggulan hak yang satu atas yang lainnya. Inilah keadilan hakiki yang akan terwujud sebagai implikasi penerapan syariah Islam dalam masyarakat (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah al Gharbiyah, hlm. 191).

Islam sendiri memberikan wewenang langsung kepada khalifah atau pemimpin untuk melaksanakan amanat dan tanggung jawab serta memutuskan suatu perkara hukum dengan adil. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.” (QS An Nisa:58).

Allah memerintahkan apa yang diamanahkan bagi kepentingan rakyat. Memperlakukan secara sama terhadap semua rakyat yang dipimpinnya, tidak mengutamakan sebagiannya dan meminggirkan yang lainnya.

Bila seorang hakim menyimpang dalam memutuskan perkara, sungguh besar ancaman Allah. Rasulullah SAW mengingatkan, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia di neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia di neraka dan seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga. (HR At-Tirmidzi; shahih lighairihi). Wallahu’alam.

Candu Game Online PR Besar Negara

Oleh: Mia Annisa (Pemerhati Sosial & Aktivis Dakwah)

Game online termasuk salah satu industri kreatif yang dilirik karena keuntungannya yang menjanjikan. Selain itu digadang-gadang menjadi e-sport di bidang olahraga. Seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih game online butuh disupport oleh jaringan internet yang super cepat agar bisa dinikmati mengingat kebutuhan layanan internetnya merupakan spesifikasi khusus.

Indonesia menjadi pasar potensial sebagai pengguna dan penikmat produk-produk game online semacam Mobile Legend dan PUBG. Game yang bisa dimainkan dimana saja tanpa harus duduk manis di kursi gaming dengan perangkat gear pendukung cukup bermodalkan gadget dan kouta. Disinyalir dalam sehari ada ribuan gamers yang tergila-gila pada game ini.

Diprediksi jumlah gamer di Indonesia saat ini sudah mencapai 34 juta orang. Dari jumlah tersebut, 19,9 juta diantaranya adalah gamer online berbayar dan rata-rata pengeluarannya mencapai 9,12 dolar Amerika Serikat (AS). (https://www.pikiran-rakyat.com/)

Bisa dibayangkan ada 34 juta orang rela merogoh kocek sampai puluhan juta dolar Amerika hanya demi sebuah game online. Pun itu bukan angka yang sedikit. Jutaan generasi lebih memilih menghabiskan waktunya setiap hari hanya untuk bermain game online.

Game online ibarat candu mematikan yang secara terus menerus akan membuat ketagihan dan mempengaruhi rasa penasaran para gamer. Apa jadinya ketika seseorang lebih tertarik bermain game ketimbang berinteraksi, melakukan aktivitas secara real dengan dunia di sekelilingnya ?

Bahaya Game Online

Rata-rata penggemar game online adalah mereka yang malas bersosialisasi, sering berbohong dan pintar memanipulasi keadaan, sulit diatur dan gampang frustasi. Tak salah jika Badan World Health Organization (WHO) PBB memasukkan kecanduan game sebagai salah satu penyakit gangguan mental (mental disorder) (https://amp.kompas.com/)

Sebagaimana juga dikutip dari Bisnis.com (09/07/2018), dr Kristiana Siste, SpKJ (K) dari Departemen Psikiatri FK UI RSCM memaparkan, “Struktur dan fungsi otaknya mengalami perubahan. Jadi, kalau kita lihat otaknya pake MRI, ada perubahan di bagian otak pre-frontal cortex”. Di sisi lain, pecandu seringkali mengalami gangguan tidur sehingga mempengaruhi sistem metabolisme tubuhnya, serta berpotensi menjadi sosok individu . (https://m.bisnis.com/)

Aneh sekali jika negara justru memfasilitasi sarana teknologi bahkan menjadikannya ajang lomba dengan dalih mendukung generasi muda dalam era digitalisasi. Kurangnya perhatian negara terhadap terpaparnya generasi muda oleh virus game online akan menjerumuskan mereka pada pengrusakan jiwa dan mentalitas sebagai individu muslim.

Padahal negara sebesar China ketat sekali melakukan blok game-game online masuk ke negaranya. Bahkan telah lahir larangan bagi warganya untuk memainkan game online. Mereka menyadari dampak bahaya yang ditimbulkan game online. Namun disisi lain mereka tidak berhenti memproduksi game-game yang kemudian dipasarkan ke luar negeri tapi melarang warganya mengimport game bahkan memainkan game online. Karena ini perang dagang digitalisasi yang disandarkan pada asas untung rugi.(https://m.detik.com/)

Tak pelak mindset berpikir ala kapitalis tertanam dalam diri individu bersikap serba materialistis. Gamer berkebangsaan Jerman, Kuro Takhasomi misalnya. Dalam keterbatasannya tidak memiliki kaki, ia mampu menjadi seorang gamer dengan penghasilan tertinggi di dunia mengalahkan gamer-gamer lain. Selama itu bisa menghasilkan uang, mengapa tidak. Ini diamini oleh presiden Jokowi kalau dulu bermain game dimarahi orang tua, sekarang game bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah. Bisa dibayangkan ini akan menjadi candu yang tersistematis.

Kecanduan game online tidak hanya menjadi PR besar bagi orang tua tapi PR besar negara.

Game Online PR Besar Negara

Menilik perkara game online, permainan ini lahir dari sebuah ideologi yang mengkerdilkan peran agama dari kehidupan. Apakah kontennya perang, kekerasan atau menghina agama tertentu yang mendorong para pelakunya lalai terhadap Islam. Inilah misi yang diinginkan oleh kafir barat agar kaum muslim terbodohkan, menjauhi agamanya. Hingga akhirnya kebangkitan Islam diharapkan tidak pernah terwujud.

Pada kenyataannya kecanduan game online satu bentuk aktivitas yang sia-sia dan melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim melakukan aktivitas dakwah, mengkaji Islam secara utuh di tengah keterpurukan taraf berpikir umat.

Negara berperan besar menjadi orang tua tunggal mengasuh para generasi muda layaknya ibu kandung sendiri demi terciptanya generasi unggul. Menetapkan kebijakan-kebijakan dengan standarisasi hukum ketat. Negara harus meletakan kecanggihan teknologi senantiasa terikat dari nilai-nilai hukum Islam. Sebab, Islam memandang teknologi yang berkonotasi suatu benda hukum asalnya yaitu mubah (boleh). Di pundak manusialah teknologi terletak manfaatnya ketika manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Mendatangkan dosa dan malapetaka tatkala manusia menggunakannya untuk keinginan-keinginan syahwat dalam kemewahan dunia hingga melupakan akhirat.

Di sinilah Islam berperan sebagai agama paripurna. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari karakter agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memang dalam abad teknologi dan era globalisasi ini sudah selayaknya umat Islam hendaknya melakukan langkah-langkah strategis dengan meningkatkan pembinaan sumber daya manusia guna mewujudkan individu-individu yang beriman dan bertakwa yang menjadikan teknologi sebagai salah satu penyokong kekuatan majunya peradaban bangsa bukan menghancurkan. []

HAM: Ilusi ala Demokrasi

Oleh: Ummu Zhafira (Member Akademi Menulis Kreatif)

Dunia barat lantang teriak, menolak keputusan Brunei Darussalam yang memberlakukan hukum pidana syariah Islam. Tindakan Brunei tersebut, dinilai sebagai langkah kemunduran bagi hak asasi manusia.

Bahkan seperti dilansir oleh bbc.com, Michelle Bachelet (Komisioner Hak Asasi Manusia PBB), menuduh Brunei Darussalam berusaha menerapkan hukum kejam dan tidak manusiawi terkait dengan rencana penerapan hukuman cambuk dan rajam hingga mati terhadap kaum homoseksual mulai Rabu (03/04).

Mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden pun tak mau ketinggalan. Dia menyatakan pendapatnya dalam sebuah cuitan di akun twitternya, “Merajam orang sampai mati karena tindakan homoseksual atau perzinahan adalah mengerikan dan amoral. Tidak ada alasan—baik agama atau tradisi—atas kebencian dan tak berperikemanusiaan seperti ini.”

Secuil saja bagian hukum Allah diterapkan, para pembenci Islam berkoar tak terima. Atas nama HAM, mereka bersembunyi membenci syariat Allah. Mengecam keras bagi para pengembannya. Seolah mereka menjadi manusia paling berperikemanusiaan sejagat raya.

Padahal kenyataannya? Mereka hanya berteriak ketika dinilai pelanggaran HAM itu menyasar kepentingan mereka. Lihat saja! Seberapa lantang mereka teriak atas nama HAM, ketika umat muslim darahnya tertumpah di New Zealand beberapa waktu lalu. Mereka pun membisu melihat pembantaian saudara-saudara muslim kita di negeri-negeri Islam lainnya.

Kasus berdarah yang terjadi di New Zealand lalu menjadi bukti, bahwa mereka sungguh tak pernah ada pembelaan terhadap kaum muslim. Padahal, apa yang dilakukan teroris Brenton Tarrant merupakan sebuah pelanggaran keji terhadap nilai HAM itu sendiri. Namun mereka hanya sekedar mengucapkan bela sungkawa. Tak sedikitpun menyinggung soal hak asasi manusia. Bahkan pegiatnya pun diam seribu bahasa.

Inilah wajah Barat sesungguhnya. Mereka memiliki standar ganda dalam memandang persoalan HAM. Hak ini hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Bukan untuk kepentingan umat Islam. Mereka justru tarlalu sering mencabik-cabik kehormatan atas umat nabi akhir zaman ini.

Ingatkah kita pada keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember 2017 lalu? Dia juga memerintahkan perencanaan pemindahan Kedutaan Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Ini jadi bukti selanjutnya, bahwa Amerika dan antek-anteknya tak pernah konsisten pada hak asasi manusia yang selalu mereka gembar-gomborkan.

Kemunculan Istilah hak asasi manusia ini terjadi setelah Revolusi Perancis. Dimana pada saat itu terjalin koalisi antara tokoh borjuis dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat. Dari sanalah muncul perlawanan rakyat yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia. Hingga akhirnya membuahkan deklarasi Internasional mengenai hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan pada Desember 1948.

Ide ini merupakan ilusi ala demokrasi. Mantra sihir yang telah berhasil meninabobokan kaum muslim hari ini. Ide HAM yang digaungkan Barat seolah menjadi angin segar bagi kaum muslim, yang ketika itu hak-haknya dirampas oleh penjajah masa lalu.

Padahal kenyataannya, para penjajah tak pernah jengah untuk senantiasa menghisap kekayaan negeri-negeri muslim. Mereka hadir tak lagi dengan gaya kolonialisme masa lalu tapi dengan wajah baru yang dikenal dengan neoimperialisme.

Gaya baru penjajahan ini justru lebih mematikan. Melalui sistem demokrasi, mereka memainkan perannya dengan lebih elegan. Mereka berkoalisi dengan pemimpin-pemimpin boneka. Memuluskan kerakusannya untuk mengeruk kekayaan yang dimiliki kaum muslim. Merampas hak-haknya dengan cara yang tak terduga. Hingga umat hanya berdiam diri. Mereka tak menyadari hal ini. Padahal kita bisa melihat, berapa banyak perusahaan-perusahaan asing yang berdikari di negeri ini. Bahkan negeri-negeri kaum muslim di belahan dunia lainnya.

Ide-ide sesat semacam HAM ini disuntikkan ke tubuh generasi Islam agar mereka tersesat jauh dari ajaran agamanya. Atas nama HAM, mereka legalkan LGBT. Atas nama HAM, mereka teriak meminta pernikahan berbeda agama dilegalkan. Atas nama HAM, mereka menolak poligami, tapi halalkan prostitusi. Nauzubillah minzalik.

Islam memiliki pandangan tersendiri mengenai hak-hak asasi manusia ini. Sejak awal Islam sangat menghargainya. Bahkan negara berkewajiban dalam melindungi hak setiap warga negaranya. Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Penerapan Syariat Islam justru akan memberikan penjagaan dan pemeliharaan terhadap agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharuriyat al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga terdapat hukuman yang ditetapkan Syariat Islam bagi setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini.

Sesungguhnya Islam tak pernah mengenal konsep kebebasan HAM yang lahir dari rahim sekulerisme ala kafir penjajah Barat. Karena di dalam Islam setiap perbuatan harus terikat dengan hukum syariat. Semua itu dilakukan penuh ketaqwaan dan ketundukan yang mengikat. Karena setiap individu dalam Sistem Islam menyadari keterikatannya kepada Allah. Mereka juga menjadikan ridlo Allah sebagai tujuan hidupnya.

Sehingga tak hanya masalah LGBT ataupun perzinahan yang bisa dituntaskan. Namun seluruh problematika umat yang kini menjerat, bisa diselesaikan secara tuntas. Karena Islam itu solusi nyata bukan sekedar ilusi tak bermakna.

Agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad ini merupakan ideologi yang kaffah. Ia harus diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Tanpa bertahap seperti yang dilakukan Brunei hari ini. Karena umat Islam butuh persatuan. Umat Islam butuh perlindungan. Umat Islam butuh naungan, segera. Bukan sementara. Semua itu hanya bisa dilakukan jika Islam diterapkan secara sempurna, dalam bingkai Khilafah yang akan Allah wujudkan dalam waktu segera.

Allahu ‘alam bi as-showab.

Kebakaran Hutan dan Lahan, Sumbangsih Korporasi Kapitalis

Oleh : Mia Annisa (Pemerhati Masalah Lingkungan dan Sosial)

Sejauh ini kebakaran hutan dan lahan hanya sebatas dipahami sebagai bencana tahunan yang kerap terjadi setelah musim hujan berhenti. Maka kebakaran hutan dan lahan dipandang sesuatu yang wajar sehingga pola penyelesaian yang digunakan tidak menyentuh hingga ke akarnya.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi permasalahan serius yang tak pernah rampung untuk diselesaikan. Terbukti dari sebaran banyaknya titik api sebagian besar berada di wilayah Sumatera yaitu Aceh dan Riau. Dijelaskan oleh Staf data dan informasi BMKG Stasiun Klimatologi Aceh Besar, Harisa Bilhaqqi, bahwa “Titik panas itu terpantau melalui data satelit NOAA pada Sabtu (5/1/2019). Totalnya terdapat 16 titik panas di wilayah Sumatera, dan 10 titik panas di antaranya tersebar di 8 kabupaten di Aceh,”

Kebakaran hutan di Indonesia sudah masuk pada tahap yang mengkhawatirkan. Untuk di Riau saja sudah ada 1.136 hutan lahan di Riau di lalap si jago merah sejak Januari sampai Februari 2019. (www.tribunnews.com) Kondisi ini diperparah manakala teknis pemadaman api hanya menggunakan alat seadanya dengan memanfaatkan benda-benda yang ada, yaitu air dan api. Tentu sangat tidak sepadan dengan besaran api yang melahap kawasan hutan dan lahan.

Asap hasil dari bakaran lahan dan hutan pastinya juga memberikan dampak yang sangat signifikan menghambat jalannya roda perekonomian dan mengancam kesehatan masyarakat dan eksistensi kehidupan tumbuhan dan hewan yang seharusnya menjadi rumah bagi flora dan fauna.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan epidemi bencana yang tak bisa dilepaskan dari jerat para raksasa korporasi dunia saat ini. Tidak heran jika penegakan hukum yang berjalan hanya menyasar lapisan-lapisan bawah (personal), pelaku pembakar lahan saja belum sampai menyentuh pada level tertinggi struktur korporasi (pemilik lahan) itu sendiri. Alias mandulnya hukum negara karena melihat kekuatan korporasi dibalik kebakaran hutan dan lahan. Penegakan hukum terhadap korporasi bisa dilakukan apabila negara memiliki keberanian untuk bertindak tegas.

Mandulnya peran pemerintah juga terlihat dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan hanya sebatas mengawasi dan menegur saja. Sesuai apa yang disampaikan menteri Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Tentu tidak akan membuat para korporasi jera dan mau mempertanggungjawabkan kejahatannya selama penegakan hukumnya melempem.

Fakta dari hasil temuan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sebagian besar titik panas berada pada konsesi korporasi. (www.tirto.id) Ini membuktikan kebakaran hutan dan lahan terbakar secara sengaja bukan juga semata-mata karena dipicu oleh gejala El Nino yang kering.

Disisi lain bagaimana kerasnya perlawanan korporasi yang kebal pidana dengan melakukan penghadangan petugas pemerintahan di lapangan seperti pernah dilakukan oleh PT. Riang Lestari di Riau. Para korporasi tetap bisa mengajukan kasasi di peradilan jika vonis yang dijatuhkan dirasa memberatkan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya dari kasus kebakaran hutan dan lahan ada 12 korporasi yang dijadikan sebagai tersangka namun hanya 3 yang berhasil masuk meja hijau. Selebihnya kasus menguap begitu saja.

Kesimpulannya kasus kebakaran hutan dan lahan tidak bisa diharapkan penyelesaian selama masih bertumpu pada sistem kapitalis yang tetap mendukung eksistensi para korporasi berdiri kokoh. Kapitalis, sistem yang dibackup oleh kekuatan para konglomerasi akan melemahkan fungsi negara sebab kebijakan-kebijakan yang disusun berdasarkan pengaruh pemilik modal.

Sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Maliki, penulis kitab Al-Muntaqa Syarah al-Muwatta`, menjelaskan sebagai berikut. “Dilarang menyalakan tungku dan membuat kamar mandi yang asap (dan baunya) bisa mengganggu dan membahayakan tetangga secara permanen. Melakukan aktivitas pembakaran, yang mana asapnya bisa mengganggu dan membahayakan para tetangga, merupakan aktivitas terlarang meskipun membawa maslahat untuk segelintir orang”.

Tidak dibenarkan dalam Islam menyalakan tungku dan membuat asap dan baunya mengganggu orang lain. Apalagi menyalakan api dalam skala yang lebih besar, membakar hutan dan lahan sekalipun dalam rangka hendak meraih kemaslahatan, seperti terciptanya lapangan pekerjaan dan nilai ekonomis-ekonomis lainnya. Menjaga kesehatan masyarakat jauh lebih penting.

Pada prinsipnya segala sesuatu yang bersifat merusak negara diwajibkan memberikan sanksi tegas berupa menjatuhkan takzir bagi para pelaku pembakaran liar. Menutup paksa dengan tidak mengeluarkan izin operasional korporasi di dalamnya secara total. Menghukum para pelaku-pelaku baik pemilik dan divisi struktural dengan mengganti rugi biaya kerugian lahan dan biaya kesehatan masyatakat. Serta memenjarakan pelakunya bila perlu.

Tentu saja sanksi hukum yang tegas didukung oleh payung sistem yang ideal. Sistem yang ideal akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dari daun hingga ke akarnya. Dan negara memiliki power yang penuh tanpa harus terpengaruh oleh kekuatan uang.

Demokrasi Lahirkan Pemimpin Boneka

Oleh: Ummu Zhafira

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Sabda Rasulullah tersebut sering kali menjadi dalil setiap pembahasan soal kepemimpinan. Karena sesungguhnya setiap diri dari kita sungguh merupakan seorang pemimpin. Sehingga kelak di yaumil akhir kita semua harus mempertanggungjawabkan kepemimpinan tersebut. Begitu juga adanya sang penguasa.

Tahun ini, negeri berpenduduk muslim terbesar dunia ini pun tengah menanti sosok pemimpin yang didamba. Hiruk pikuknya makin terasa jelang Pilpres April mendatang. Dari pendataan pemilih tetap hingga keputusan memberikan hak suara kepada penderita gangguan jiwa yang menuai pro kontra. Lalu diberikannya kisi-kisi debat terbuka bagi kedua paslon yang membuat masyarakat geleng kepala.

Suhu politik tentu saja kian memanas. Perbincangan atas kedua pasangan capres dan cawapres terus bergulir, dari meja warung kopi hingga ruang akademi. Semuanya adu argumentasi, kira-kira siapa yang pantas menempati kursi tertinggi di negeri ini.

Dua kubu pendukung masing-masing saling serang dengan komentar-komentar pedas hingga banyak celotehan mereka yang tak pantas memenuhi ruang jejaring sosial. Meski seringkali terpaksa berakhir di jeruji penjara. Begitulah banyak kasus yang menimpa pihak oposisi atau para ulama yang lantang mengoreksi.

Tentu saja pihak petahana mampu melakukan segala cara. Sebab tampuk kuasa masih berada dalam genggamannya. Bahkan demi peningkatan elektabilitas, digunakan berbagai cara. Setelah menggaet tokoh organisasi muslim terbesar Indonesia tak buahkan hasil nyata, maka putusan pembebasan tanpa syarat ustadz Abu Bakar Ba’asyir pun dilontarkan. Namun tak berselang lama keputusan itu pun diralat dengan berbagai alasan.

Dan masih banyak lagi kasus yang terjadi belakangan ini yang membuat kita semakin yakin bahwa tak ada kebaikan sedikitpun dalam demokrasi. Sistem ini hanya melahirkan pemimpin-pemimpin boneka yang tak paham bagaimana cara mengurusi rakyatnya. Justru sebaliknya, mereka seringkali mengkhianati janji-janji yang telah dibuatnya.

Tak terhitung lagi kebijakan yang dikeluarkan para pemimpin itu, justru membuahkan kesengsaraan rakyatnya. Kita bisa lihat berbagai carut-marut itu nampak hampir di seluruh bidang. Banyak kebijakan sejatinya memihak pada swasta bahkan asing.

Bagaimana mungkin pemerintah melakukan impor beras disaat para petani negeri ini sedang masa panen raya. Siapa yang diuntungkan? Petani yang dapat kunjungan demi sebuah pencitraan? Tentu saja tidak.

Belum lagi kasus korupsi yang semakin menggurita. Setiap pemimpin selalu saja gagal membersihkan tikus-tikus berdasi perongrong negeri. Tak ada efek jera. Jeruji penjara saja rasa hotel bintang lima. Remisi juga tak tanggung diberikan kepada narapidana korupsi hingga 77 bulan lamanya.

Lalu, mahalnya biaya pendidikan terus menjadi persoalan. Pelayanan kesehatan juga amat memprihatinkan. BPJS yang digadang-gadang menjadi solusi, ternyata dalam praktiknya hanya membuat masyarakat emosi. Banyak pasien yang kecewa. Tersebab urusan administrasi yang berbelit hingga peraturan urun biaya menambah luka.

Demokrasi sebagai turunan paham sekulerisme-kapitalis ini selalu melahirkan sumber daya manusia yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan. Sehingga ketika seseorang mencalonkan diri sebagai penguasa, sejatinya bukan demi memperjuangkan cita-cita berbangsa. Melainkan hanya memuaskan syahwat kekuasaan dan peroleh keuntungan bagi pribadi juga golongannya.

Hal yang sangat wajar dalam demokrasi. Biaya berpolitik yang selangit mewajibkan mereka menggelontorkan sejumlah biaya yang tentunya tak sedikit. Jika kantong mereka tak cukup tebal, maka mereka harus mencari sokongan dana dari pemilik modal. Tak lain mereka merupakan para kapitalis yang selalu memiliki keinginan untuk mendomiasi dalam percaturan perekonomian dalam negeri.

Akhirnya, ketika pasangan calon yang mereka dukung berhasil meraih kursi kemenangan, maka tak heran para kapitalis ini dengan mudahnya mendikte para pemimpin demi tercapainya kepentingan mereka dalam proyek-proyek bisnis mereka. Tak ada pemimpin sejati, yang ada hanya pemimpin boneka di atas kursi demokrasi.

Ingatkah kita dengan sosok pemimpin ideal dan fenomenal di jaman peradaban Islam? Rosulullah Muhammad saw. telah menjadi bukti sosok pemimpin yang memiliki keteladanan nyata. Pengaruh kepemimpinannya diakui dunia. Bahkan dalam bukunya The 100, Michael Hart menyebut bahwa Muhammad adalah sosok paling berpengaruh sepanjang sejarah dunia. Masyallah.

Para khulafaur rasyidin setelahnya pun memiliki jejak rekam kepemimpinan yang tak kalah luar biasa. Juga para khalifah selanjutnya. Mereka selalu berupaya menunaikan setiap amanah yang diembannya sebagai pengayom dan pelayan bagi umatnya. Hingga Umar bin Khattab tak hanya memperhatikan urusan manusia, tapi terperosoknya seekor keledai pun jadi perhatian.

Seorang pemimpin memang sudah seharusnya memiliki kualitas dan kapasitas yang mumpuni dalam memimpin. Memiliki keteladanan yang baik bagi rakyatnya. Berkompeten untuk bisa menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi di dalam negerinya. Tapi di dalam Islam ketaqwaan seorang pemimpin menjadi modal utama. Karena kelak ketika memimpin dia akan bekerja bukan atas dorongan duniawi, melainkan demi meraih ridlo Illahi. Dia paham betul bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah kelak di hari pembalasan.

Dan yang terpenting bukan hanya sekedar sosok pemimpinnya. Tapi sistem aturan yang akan diterapkannya. Jika demokrasi masih menjadi jalan pilihannya, maka dipastikan ia akan terseok dalam jurang kehinaan. Karena demokrasi bukan berasal dari Islam. Maka pilihannya, hanya pada sistem Islam, yang menjadikan Al-qur’an dan As-sunnah sebagai dasar mengatur roda kepemimpinannya. Sungguh dengannya akan kita temukan sosok pemimpin ideal yang mampu membawa bangsa ini mereguk keberkahan maksimal.

Industri Kapitalis Dalang Anomali Iklim

Oleh : Mia Tw ( Member Penulis Tangguh Bertaqwa Bekasi).

Fenomena perubahan iklim yang ekstrem di akhir 2018 bukanlah fenomena baru. Cuaca panas dan terik sepanjang 2018 yang menerpa Indonesia dan belahan dunia lainnya tidak hanya dipahami sebatas fenomena alamiah semata. Michael Mann ilmuwan iklim dari Universitas Pennsylvania, mengatakan, fakta bahwa hampir setiap tahun masuk dalam lima atau 10 tahun terpanas adalah bukti nyata pemanasan yang disebabkan manusia di planet ini. (Kompas.com)

Menarik, apa yang disampaikan Michael Mann sangat berkorelasi dengan isi Protokol Kyoto tahun 1977 yang diratifikasi pada 2012 dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2%. Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca, karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008- 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 6% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. (Sumber Wikipedia)

Proses menghangatnya suhu bumi adalah impact dari model liberalisasi industri negara-negara kapitalis. Kontribusi Uni Eropa, AS, Jepang dan Rusia dalam menjarah kekayaan hutan, laut dan tanah tidak bisa dilepaskan begitu saja bahwa mereka biang keladi terhadap kerusakan alam dan terjadinya anomali iklim. Barat telah nyata mempertontonkan ekploitasi secara masif di segala sektor pasca memenangkan pertarungan ideologi dengan Imperium Utsmaniyah.

Prinsip neoliberalisme yang ditandai dengan perkembangan alat-alat produksi menyebabkan lahirnya industri-industri raksasa yang dibangun di atas tanah dengan membabat hutan dengan membabi buta. Penggundulan hutan berbiaya murah dengan cara dibakar digantikan oleh lahan Sawit, Karet, dan sebagainya demi mengeruk pundi-pundi uang. Hutan sebagai penyeimbang iklim bumi telah dieliminasi memicu gangguan pola cuaca dan menyebabkan banjir besar serta meningkatnya intensitas badai.

Aktivitas pembakaran minyak bumi, gas dan batu bara juga telah menghasilkan polutan udara, berupa asap-asap hitam yang dibuang melalui cerobong asap. Pelepasan karbondioksida, metana dan mercuri di udara dinilai paling besar memicu adanya perubahan iklim. Metana sendiri, gas paling besar yang berada pada lapisan ozon, 86 kali lebih besar ketimbang karbondioksida.

Bisa dibayangkan apabila zat-zat berbahaya tersebut mencemari alam semesta pengaruhnya terhadap penyimpangan iklim luar biasa. Pertama, suhu rata-rata global pada permukaan bumi mengalami peningkatan selama seratus tahun terakhir. Keengganan negara-negara industri mengurangi emisi gas rumah kaca mereka dengan dalih menjaga stabilitas ekonomi mengubah suhu rata-rata pada setiap tahunnya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan suhu permukaan global akan mengalami peningkatan antara 1.1 hingga 6.4 °C.

Kedua, apabila suhu rata-rata global mengalami kenaikan berbagai fenomena mengerikan mengancam manusia. Semakin banyak terjadi fenomena penyimpangan cuaca. Intensitas naiknya air laut ke daratan, ombak pasang atau tsunami akan lebih sering dirasakan warga di pesisir pantai. Meningkatnya cuaca ekstrem seperti badai, angin ribut, hujan deras, banjir, tanah longsor. Serta, perubahan suhu di atas rata-rata akan mempengaruhi sektor agraria, musim tanam akan mengalami kekacauan. Cuaca yang tidak menentu membuat para petani sulit dalam memperkirakan waktu untuk mengelola lahan dan memanen. Berbagai jenis hewan akan punah sebab pemanasan global mengganggu fisiologis hewan-hewan satwa dan ternak.

Tak terbantahkan, anomali iklimlah yang menyebabkan munculnya berbagai macam musibah dan bencana yang melanda negeri ini. Barat adalah aktor tunggal satu-satunya di belakang isu global warming. Selama Kapitalisme tetap menjadi asas penyelenggaraan industrinya, mustahil masih mengharapkan barat untuk bertanggung jawab.

Kaset Kusut Demokrasi, Tak Perlu Diputar Kembali

Oleh : Nur Purnama. I. P

Babak baru pertempuran 2 calon pasangan penguasa negeri kembali dihelat. Sorak sorai masing-masing pendukung memenuhi ruangan debat. Kedua pasangan pun optimis menggulirkan mantra-mantra ala demokrasi, demi meraih suara rakyat. Mantra demokrasi, buah hasil Kapitalisme yang terbukti jahat.

Debat perdana sejatinya sudah kembali membukakan mata. Bagi mereka yang memahami. Bahwa ini hanyalah seperti kaset kusut demokrasi, yang terus menerus diputar kembali. Dimana lagu-lagunya adalah buah cipta sistem Kapitalis-Sekuler yang nyatanya hanya mampu meninabobokan umat. Melenakan tanpa mampu membuat umat bangkit dan menghadapi kehidupan dengan aturan yang tepat.

Demokrasi sendiri kita kenal sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menganut paham bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Tetapi pada faktanya, rakyat yang berdaulat tersebut adalah rakyat berkantong tebal yang sarat dengan kepentingan pribadi atau golongan. Ditambah dukungan dan naungan sebuah sistem yang tak ingin agama mengatur kehidupan dan menjadikan materi sebagai standar setiap perbuatan. Sehingga ketika perhelatan pemilu demokrasi dijelang, cara pandang dari visi misi yang diemban para calon pemangku jabatan pun merujuk kepada sistem yang menaungi dan mengamini segala aktivitas mereka, yaitu sistem Kapitalis-Sekuler.

Kini, buka mata dan bangkitlah, Kawan. Jangan kita terus terlelap dalam buaian. Tinggalkan kaset kusut demokrasi itu. Lepaskan diri dari buaian lagu-lagu ciptaan Kapitalis-Sekuler. Sudah saatnya bangkit dan menghadapi fakta kehidupan, yang sudah nyata di negeri ini tercipta banyak kerusakan, kezaliman, bahkan kekufuran. Lalu kemana kita harus mencari solusi untuk negeri?

Tengoklah kawan. Disana ada sebuah konsep pemikiran. Ada sebuah metode penerapan dan aturan untuk ditegakkan, yang telah lama kita abaikan. Bahkan kita lupakan.

Sebuah Syariat yang sejatinya paling mumpuni, lengkap dan paripurna. Itulah Syariat Islam, yang diturunkan oleh Zat Yang Maha Sempurna. Dialah Allah subhanahu wa ta’ala. Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Pemilik dan pencipta daripada langit dan bumi, manusia serta seluruh alam semesta.

Islam sejatinya mampu menjadi tempat kembali, ketika persoalan hidup menyergap diri. Pun bagi para pemimpin negeri, telah lengkap Allah turunkan, sepaket aturan dan pedoman kehidupan. Dari mulai urusan individu, sampai urusan kenegaraan.

Maka para pemimpin umat pun tak lagi sekedar mendendangkan ulang visi misi ala kaset kusut era demokrasi. Tetapi bersiap dan menyegerakan diri, terapkan syariat Islam di seluruh penjuru bumi.

MENGINTERPRETASI PESTA DEMOKRASI, BUKANLAH JALAN PERUBAHAN

Oleh : Mawar Sari

Tahun 2019 telah datang, tahun di mana diharapkan banyak kalangan membawa perubahan bagi negeri ini. Pesta demokrasi(Pemilu), akan segera berlangsung di bulan April mendatang. Jelang pemilu akan digelar acara dialektika dan debat kedua capres yang dibagi dalam beberapa segmen, mulai tanggal 17 Januari 2019.

Berbagai polesan retorika dipersiapkan demi meraih elektabilitas. Namun sayang retorika hanya sampai di ujung lidah tak pernah menjadi realisasi mendasar yang menyelesaikan persoalan negeri. Alih – alih menyelesaikan persoalan negeri, justru faktanya rakyat yang harus menanggung beban hutang negara berikut kenaikan harga-harga, tarif listrik dan BBM, meski pesta demokrasi telah dilaksanakan berkali-kali.

Lantas solutifkah jika berharap perubahan pada pesta demokrasi atau pemilu? Sedangkan demokrasi sendiri berasal dari filsafat yunani yang artinya kekuasaan di tangan rakyat, suara rakyatlah yang menentukan kekuasaan dan kedaulatan tertinggi. Demokrasi juga melahirkan pemikiran rusak yakni sekulerisme, sebuah pandangan konseptual yang memisahkan agama dari kehidupan. Menurut pengamat politik Dr. Ahmad Sastra, secara genetik sekulerisme membawa sifat dasar blasphemic yakni menghujat, menista, memfitnah, dan ketiadaan rasa hormat terhadap Tuhan dan agama. Sifat blasphemic ini telah menjadi pangkal segala kerusakan peradaban manusia. Daya rusaknya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

Dalam perspektif Islam kekuasaan dan kedaulatan tertinggi ada di tangan syariah, dan melegislasi hukum – hukum baik itu perintah dan larangan adalah hak prerogatif Allah Swt. Karena itu dapat diinterpretasikan bahwasanya pemilu demokrasi bukanlah jalan menuju perubahan yang mendasar. Sebab bertentangan dengan Islam, wajar saja jika dilihat dari penerapannya, demokrasi menghasilkan kerusakan pada seluruh aspek kehidupan. Sehingga layak dikatakan jika demokrasi adalah sistem yang gagal membawa perubahan.

Kendati demikian meski bahaya dan kerusakannya telah nampak di depan mata, masih saja kita dapati di media berbagai justifikasi agar umat Islam terlibat dalam Pemilu. Dengan menggunakan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah), seperti kaidah adh-dharurah tubih al-mahzhurat, yang berarti kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan. Sungguh ini adalah kekeliruan dalam penggunaan kaidah darurat. Definisi darurat menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau terancam mati (Imam Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nazha’ir, hlm 84-85). Semakna dengan Imam Suyuthi menurut Imam Taqiyuddin an- Nabhani definisi darurat yaitu keterpaksaan yang sangat yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (Asy-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah lll/483).

Jadi justifikasi agar berpartisipasi dalam pemilu tidak dapat disandarkan pada kaidah darurat. Sebab tidak menyebabkan terancamnya jiwa dan hilangnya nyawa, apabila kita tidak ikut serta dalam pemilu tersebut.

Sudah saatnya bagi kita untuk berpegang teguh pada Syariat Allah dan RasulNya, dengan meninggalkan sistem demokrasi yang bertentangan dengan syariatNya, dan menggantinya dengan sistem Nubuwwah. Agar perubahan hakiki dapat terwujud dan dapat dirasakan semua kalangan. Tidakkah kita rindu negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun warobbun ghofur? Yaitu negeri yang penuh berkah dan ampunan Allah .

Mengakhiri Episode Panjang Kisah Pembunuhan

Oleh: Vanissa Sebayang, S. Si

(Alumni Matematika Universitas Negeri Malang)

Berita pembunuhan kembali mengejutkan khalayak ramai. Pasalnya satu keluarga ditemukan tewas di sebuah rumah di Jalan Bojong Nangka II, Jatirahayu, Pondok Melati, Kota Bekasi pada hari Selasa (13/11/2018) dini hari. Berdasarkan informasi, satu keluarga tersebut terdiri dari suami istri dan dua anak. Penyebab tewasnya belum dapat dipastikan. Pihak kepolisian belum bisa memberikan komentar. Namun, keluarga tersebut diduga menjadi korban pembunuhan.1

Berita semacam ini, bukanlah hal baru. Kasus pembunuhan tersebut menambah daftar panjang kasus pembunuhan di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 1.491 kasus pembunuhan sepanjang tahun 20152. Ini baru yang diketahui, padahal kasus kriminalitas termasuk pembunuhan bagaikan fenomena gunung es, yang diketahui dan tampak kepada publik hanya puncaknya saja sementara kasus yang sesungguhnya terjadi jauh lebih banyak lagi.

Continue reading