Hukum yang Tertukar

Oleh: Mia Annisa

Tajam ke bawah tumpul ke atas. Ada benarnya ungkapan ini pantas disematkan pada penegakan hukum di Indonesia yang terkesan tebang pilih, juga terkadang terkesan lambat dan tenggelam tanpa penyelesaian.

Baiq Nuril (37) mantan guru honorer di Mataram, diantara sekian banyak warga yang menanti keadilan hukum secepatnya. Pengajuan PK Baiq Nuril Maknun, terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Baiq Nuril yang merekam pelecehan seksual yang dilakukan atasannya melalui pembicaraan telephone, itu tetap mendekam di penjara selama 6 bulan beserta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.

Niat hati Baiq Nuril mencari keadilan tapi malah menjadi pesakitan. Sementara pelaku pelecehan bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa dikenai hukuman sedikitpun. Kasus Baiq Nuril seperti noktah hitam, bahwa mencari keadilan di negeri yang konon menjunjung nilai-nilai paling demokratis mahal harganya dan beresiko tinggi.

Kontras sekali apabila kasus-kasus hukum menjerat kalangan elite politik dan para konglomerat pasti bebas dari pertanggungjawaban hukum meskipun telah melanggar aturan. Mereka pemilik kekuasaan dapat membeli hukum, maka aparat penegak hukum yang tidak amanah, silau dunia, harta dan jabatan saling kongkalikong dalam melakukan penegakkan hukum. Sehingga lahirlah para makelar kasus atau cungkil yang mau disuap demi asas simbiosis mutualisme.

Wajar jika dalam sistem Kapitalisme hukum tidak saja dijalankan sebagai sebuah aturan, tetapi bisa diperjualbelikan ibarat barang dagangan bagi yang berkantong tebal. Hukum tidak berlaku bagi sekutu-sekutunya, partai pendukung, koalisi partai yang mendukung atau simpatisan yang memiliki keistimewaan karena pengaruh kedudukan atau uang yang dimilikinya. (https://www.kompasiana.com/)

Sementara, bagi rakyat kecil, lawan politik, ulama, pendakwah, partai Islam dan kritikus, maka hukum menjadi senjata pemusnah menekan yang lemah dan melanggengkan kekuasaan. Tak heran terdakwa yang lemah dibuat tak berkutik atau lebih memilih jalan damai mengingat panjangnya proses hukum dalam demokrasi yang menguras tenaga, pikiran serta finasial.

Mustahil berharap demokrasi memberikan kepastian hukum, tatkala semua urusan pengaturan kehidupan diserahkan pada timbangan manusia yang terjadi serba multi tafsir, saling bertengangan dan mengakibatkan kerusakan.

Lain halnya dengan Islam satu-satunya aturan yang memiliki standar hukum yang jelas dan baku. Islam memandang jika keadilan apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah, baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya.

Apabila diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat, menciptakan cara pandang dan cara perlakuan yang sama terhadap individu-individu masyarakat akan diperlakukan secara sama tanpa ada diskriminasi dan tanpa pengurangan atau pengunggulan hak yang satu atas yang lainnya. Inilah keadilan hakiki yang akan terwujud sebagai implikasi penerapan syariah Islam dalam masyarakat (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah al Gharbiyah, hlm. 191).

Islam sendiri memberikan wewenang langsung kepada khalifah atau pemimpin untuk melaksanakan amanat dan tanggung jawab serta memutuskan suatu perkara hukum dengan adil. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.” (QS An Nisa:58).

Allah memerintahkan apa yang diamanahkan bagi kepentingan rakyat. Memperlakukan secara sama terhadap semua rakyat yang dipimpinnya, tidak mengutamakan sebagiannya dan meminggirkan yang lainnya.

Bila seorang hakim menyimpang dalam memutuskan perkara, sungguh besar ancaman Allah. Rasulullah SAW mengingatkan, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia di neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia di neraka dan seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga. (HR At-Tirmidzi; shahih lighairihi). Wallahu’alam.